2008/04/28

Hari Film Nasional Sambut Buku Katalog Film Nasional

Jakarta-Film Indonesia. Buku Katalog Film Nasional 2008 yang ditulis oleh JB Kristianto diluncurkan di Teater Kecil, TIM, Minggu (30/3) siang. Peluncuran dan diskusi tersebut bertepatan dengan Hari Film Nasional (HFN) yang jatuh pada 30 Maret 2008. Peluncuran tersebut berkaitan dengan kegiatan Bulan Film Nasional (BFN) yang digelar Kineforum, Dewan Kesenian Jakarta sejak 1-31 Maret 2008.

Katalog ini telah dicetak 3 edisi, yaitu pada 1995, 2005 dan 2007. Gagasan menggarap buku ini dumunculkan oleh JB Kristanto, wartawan film dan pengamat film senior Indonesia dari media massa Kompas. Katalog ini merupakan sumber informasi terlengkap mengenai produksi film Indonesia.

Berbeda dengan buku tahun 2007, katalog ini mengubah format menyangkut perubahan redaksional agar dapat digunakan bagi kalangan dan diterbitkan dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Setelah mengalami masa surut di tahun 1990-an, produksi film Indonesia saat ini telah mulai populer kembali, sekitar 40-50 judul film tayang setiap tahunnya.

Namun, JB Kristianto mengakui, pembuatan buku ini kurang memperoleh dukungan dari pemerintah. “Sepertinya tidak hanya pemerintah, dukungan dari beberapa produser film juga tidak ada,” ujarnya.

Peluncuran buku ini juga dihadiri puluhan pengunjung yang tertarik dengan perkembangan film nasional. Salah satunya sutradara Garin Nugroho, Riri Riza dan Djenar Maesa Ayu, penulis buku dan sutradara film “Mereka Bilang Saya Monyet”.

Usai penutupan diskusi, JB Kristianto berharap buku ini dapat sebagai dokumentasi data film yang berguna untuk pekembangan sejarah film dan bukti bangkitnya perfilman Indonesia.

Namun, ditempat berbeda peringatan Hari Film Nasional 2008 yang ke 58 mendapat sambutan dari ratusan anak dan orangtua di depan gedung Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Minggu (30/3) sore. Aksi bertema “Aksi Simpati 1.000 Anak Menyoal Film Indonesia” tersebut merupakan dukungan untuk sineas film agar kembali menciptakan film anak-anak. Aksi tersebut juga dihadiri mantan penyanyi cilik Jhosua dan Chikita Meidy. Aditya Gumai mengatakan, sejak film “Petualangan Sherina “ (2002), tidak ada lagi film anak yang diproduksi.

“Selama ini produksi film Indonesia lebih terfokus untuk kalangan remaja serta dewasa, dan produksi film anak-anak hampir tidak mendapat ruang di bioskop,” ungkap Aditya Gumai, pimpinan Sanggar Ananda.

Selain berteriak, anak-anak dan para orang tua juga membentangkan spanduk bertulisan 'Kami Butuh Film Anak Indonesia; Ke Mana Film Anak Indonesia?'. (red. film indonesia)

Tag: Tembang, Artis Populer, Majalah Online, Cerita Dewasa, Download Film, Film, Zone Artis Indonesia

Tayangan Film "Ketika Cinta Bertasbih", MUI Sambut Gembira

Jakarta-Film Indonesia. SinemArt Pictures,, rumah produksi yang rencana akan membuat film Ketika Cinta Bertasbih kembali melanjutkan silaturahmi. Setelah sebelumnya menyambangi kediaman Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid dan bertemu dengan Ketua PP Muhammadiyah, Din Sjamsuddin di kantor, kini rombongan pimpinan produser Heru Hendriyanto tersebut mendatangi kantor MUI di Istiqlal. Tampak dalam rombongan yang datang, sutradara, Chaerul Umam, Eka (pimpinan produksi), Dani Sapawi dan Abdul Aziz (manajer promosi). Sementara, Kang Abik, sapaan akrab Habiburrahman El Shirazy yang biasanya ikut, kali ini tak hadir.

Sambutan hangat ditunjukkan oleh jajaran pengurus harian MUI yang menerima kunjungan tersebut, Prof.Dr.H. Umar Shihab, Drs.H.A. Nazri Adlani,Prof.Dr.Hj. Chuzaimah T. Yanggo, Prof.Dr.H. Amir Syarifuddin, K.H. Khalil Ridwan, Lc. dan Sekretaris Drs.H. Anwar Abbas, MM., Drs.H. Zainut Tauhid Saadi. Dalam kesempatan itu, masing-masing ulama mengemukakan pendapat dan memberikan masukan mengenai rencana SinemArt ini.

Dalam pernyataannya, Prof.Dr. H. Umar Shihab mengungkapkan kegembiraannya akan rencana tersebut. “Saya menyambut gembira rencana SinemArt untuk membuat film ini, karena film sebelumnya, Ayat Ayat Cinta (AAC) yang juga diangkat dari novel Habiburrahman El Shirazy terbukti memperoleh sambutan baik dari masyarakat,” ungkapnya. Ia juga menambahkan, bahwa fakta AAC di tonton dan digemari oleh masyarakat dari kalangan atas, menengah dan bawah hingga menarik perhatian presiden dan wakil presiden mengisyaratkan, bahwa film dengan nuansa religi dan digarap dengan baik akan mendapat apresiasi positif.

Lebih lanjut, ia juga mengungkapkan harapan agar Ketika Cinta Bertasbih dapat menitik beratkan pada mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak menyinggung perasaan agama lain, golongan lain atau pihak-pihak tertentu, sehingga terlepas dari masalah SARA. Namun, Ketua MUI juga menyatakan, bahwa apapun masukan yang nantinya akan diberikan tidak akan mengintervensi kerja dari sutradara dan produser film. “Saya harap film ini bisa menjadi film yang murni seni, dakwah dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegasnya.

Dalam kesempatan ini, secara simbolis SinemArt menyerahkan novel Ketika Cinta Bertasbih kepada pihak MUI yang diterima oleh Prof.Dr. H. Umar Shihab. (red. film indonesia)

Tag: Tembang, Artis Populer, Majalah Online, Cerita Dewasa, Download Film, Film, Zone Artis Indonesia

Jakarta-Film Indonesia. Langkah Lembaga Sensor Film (LSF) di Indonesia hingga kini masih menjadi polemik. Dalam UU No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman masih belum mampu menemukan rumuan tepat. Sri Sultan Hamenkubuwono X pun angkat bicara. Dalam diskusi publik film yang digelar di Book Store ak.’sa.ra, Kemang, Jakarta, Senin (31/3) lalu mengatakan, bahwa Sri Sultan HB X memberikan usulan alternatif.

Usulan alternatif tersebut terkait dengan kontroversi antara pihak LSF yang tetap menjalankan prosedur UU tersebut dengan sensor-nya, dan Masyarakat Film Indonesia (MFI) melalui lembaga klasifikasi usia penonton.

“Peran orang tua harus memiliki tanggung jawab melakukan proses pendampingan terhadap anak-anaknya untuk menciptakan kebersamaan dan menanamkan nilai-nilai multikulturalisme. Anak juga dapat memilih dan mengapresiasi film sebagai media pendidikan dan hiburan dalam hubungan keluarga dan lingkungan sekitar,” ujarnya saat memberi peryataan keynote speaker.
Sri Sultan HB X juga menambahkan, peran keluarga dan orang tua juga salah satu alternatif dalam membentengi dalam pilihan sensor terhadap anak saat mereka menonton media film atau televisi.

Di sisi lain, Titie Said, ketua LSF mengatakan, sensor film pada hakikatnya memberikan rasa aman pada masyarakat untuk memilih film yang layak atau tidak.

“LSF berhak menyensor yang patut tidak ditonton oleh masyarakat. Tidak hanya media film di bioskop, tayangan program di televisi juga menjadi sasaran kami (LSF),” ungkap Titie Said, yang memiliki 45 anggota LSF dari berbagai pemuka.

Pendapat berbeda disampaikan filmmaker Mira Lesmana, terkait tindakan LSF yang tetap dengan prosedur tetapnya. “Sensor sudah tak lagi sesuai dalam negara demokrasi, dan ini pembungkaman. Ini jelas-jelas melanggar kode etik profesi sebagai kreator film. Langkah kami (MFI) tetap memberi usulan alternatif melalui lembaga klasifikasi usia penonton,” tegas Mira.

Diskusi tersebut juga dihadiri narasumber oleh Titie Said (ketua LSF), Zoemrotin KS (YLKI), Dedi Mizwar (sutradara, BP2N), Romo Benny Susetyo (rohaniawan), Mira Lesmana (sutradara, produser), Amir Siregar (wartawan senior), dan Tito Amanda.
Selain narasumber tersebut, tampak hadir Garin Nugroho, Franky Sahilatua, Nicholas Saputra, dan Tino Saroenggaleo. (red. film indonesia)

Sensor Beri Dampak Besar Bagi Karya Film

Jakarta-Film Indonesia. Peringatan Hari Film Nasional ke 58 pada 30 Maret lalu tak lepas dari peran sensor dan lembaganya. Sejarah sensor film di Indonesia yang telah dimulai sejak masa kolonial hingga kini masih terus “mengawasi” karya-karya pembuat film. Sensor juga dikaitkan dengan pemberangusan, tidak hanya pada media massa, namun juga pada film.

Keberadaan sensor dan Lembaga Sensor Film (LSF) pada UU No. 8 tahun 1992, memberi kesadaran bagi kita, bahwa perfilman adalah salah satu bidang yang jelas-jelas tertinggal dalam proses reformasi menyeluruh yang menjadi agenda bangsa 10 tahun lalu.

Demikian penjelasan pada diskusi dan peluncuran buku “Ketika Sensor Tak Mati-mati” yang dihadiri oleh sutradara film Riri Riza dan Heru Hendratmoko, ketua AJI, di Universitas Nasional, Selasa (1/4) siang.

Riri Riza mengungkapkan, ada beberapa dugaan penyelewengan terkait aturan LSF. Dalam PP No.7 tahun 1994 diatur, bahwa pemerintah menunjuk anggota LSF sebanyak 45 orang dari wakil pemerintah dan tokoh masyarakat pilihan pemerintah. Anggota LSF diangkat oleh presiden, dan selama tiga tahun dapat diangkat kembali tanpa ada aturan pembatasan.

“Lembaga klasifikasi memberi pilihan alternatif dari LSF untuk memberi golongan usia spesifik bagi film-film yang akan diedarkan di bioskop. Tapi, lembaga klasifikasi tidak berwenang melakukan pemotongan. Film yang mengandung situasi ekstrim seperti kekerasan berlebihan, isu-isu politik yang dianggap sensitif atau erotis akan mendapat penggolongan usia matang, misalnya 21 atau 24 tahun ke atas,” ujar Riri.

Selain penjelasan film, buku terbitan Kalam tersebut memuat sejumlah penulis dari jurnalis, pengamat film, penyair dan kurato seni rupa yang memberi pandangan dan gagasan dalam perumusan sensor dalam aspek berbeda. Diantaranya, Ignatius Haryanto, David T. Hill dan Khrisna Sen, Satrio Arismunandar, Veronica Kusuma, Wulan Dirgantoro, dan Ariel Heryanto.

Buku ini sekaligus memberi pandangan dan pengetahuan, bahwa sensor tidak hanya berkaitan pada karya film, namun menyajikan pada penerbitan media massa, karya seni rupa, dan panyair. (red.film indonesia)

Tag: Tembang, Artis Populer, Majalah Online, Cerita Dewasa, Download Film, Film, Zone Artis Indonesia

by TemplatesForYouTFY
SoSuechtig, Burajiru